Kamis, 18 Februari 2010

ISLAM ITU MUDAK DAN FLEKSIBEL

Tulisan ini terinspirasi artikel ustadz Free7 di sini.  Kendati kisah nyata di atas adalah sebatas pengalaman segelintir orang, namun ada banyak pelajaran penting yang dapat dipetik untuk mendapatkan pengertian yang baik dan cermat tentang Islam.
Tentu kita percaya, ada perbedaan yang begitu jauh antara perilaku orang awam dan perilaku orang yang berilmu. Karena itulah, Al-Quran mengingatkan kita, “Adakah sama antara orang yang tahu (alim) dengan orang yang tidak tahu (awam)?!” (QS.39:9). Dalam pengertian ayat tadi, sekalipun seorang itu mengerti agama, namun ia termasuk awam jika saja tidak bersikap bijak. Dalam istilah Quranik, kriteria ulama bukan sekedar berbekal pengetahuan agama; tetapi tingkat ketakutan mereka terhadap sang Khalik juga penting. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah ulama.” ( QS.35:28).

Seringkali kita dapati banyak orang yang kadang tidak dalam kapasitas dan kompeten, bertindak, mengeluarkan hukum-hukum mengatasnamakan Islam. Banyak hal dan factor melatarbelakanginya, karena itulah, Ali pernah mengatakan, “Kalau saja orang awam (jahil) itu tidak turut terlibat—dalam masalah—tentu banyak perbedaan pendapat yang bisa dituntaskan”.
Satu sisi, Islam juga sangat menjunjung tinggi kemudahan dan menolak segala kesukaran. Faktor nonkapasitas dan nonkompeten sebagian muslim, kadang membuat diri mereka kesulitan dan kesusahan. Artinya, mereka dengan tangan mereka sendiri telah menzalimi diri sendiri dan saudara muslim lainnya. Padahal, Allah Swt telah mengajarkan, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS.2:185). Sekali lagi Allah menegaskan prinsip kemudahan, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri” (QS.10:44)
Seperti dalam agama-agama lain, dalam Islam pun terdapat hak dan kewajiban. Setiap kewajiban mengandung arti tanggung jawab yang harus diemban. Kewajiban tidak berarti pemaksaan kehendak semata yang berakhir pada kesulitan, karena tidak ada konsekwensi antara kewajiban dengan kesulitan. Allah Swt berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.2:286). “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. 94:5-6).
Satu contoh untuk mendekatkan acuan pembahasan, dalam Islam, zakat atau haji itu diwajibkan. Namun, wajib itu didahului dengan persyaratan, diantaranya, mampu. Mampu adalah syarat “wajib aini” bagi muslimin untuk menunaikan haji atau zakat. Selama syarat itu tidak dipenuhi maka, kewajiban itu tidak serta merta memaksakan ditunaikannya haji maupun zakat oleh siapa saja sehingga harus menghutang. Bahkan dalam shalat sekalipun; jika tidak mampu berdiri, dia boleh melakukannya dengan sambil duduk, atau sambil merebah jika tidak bisa duduk.
Dalam bahasa analogis, mustahil Islam akan mewajibkan anak lima tahun atau orang sakit parah agar memikul beban di atas kemampuan dan kesiapan mereka. Karena, kalaulah demikian, itu justru satu bentuk kedzaliman, sedangkan Islam menolak segala kezaliman, apa pun itu.
Penjelasan atas prinsip mudah di atas tidak lantas berarti kita dengan seenaknya bisa meremehkan kewajiban yang harus kita jalankan, karena memberatkan maupun meremehkan apa saja yang berkaitan dengan kewajiban apa pun; negara, agama atau kewajiabn lain, merupakan dua gejala ekstrim yang bertentangan dengan akal sehat maupun wahyu Tuhan. Sebaliknya, dengan berbagai keterangan yang dibawa, Islam justru mengajarkan agar mengembalikannya pada kondisi natural di atas garis imbang yang bisa dicerna oleh akal sehat.
Islam dalam banyak ajarannya selalu menekankan jalan tengah; lepas dari dua sikap ekstrim. Jalan ini juga penting dalam memahami ayat dan hadis. Otoritas memahami al-Quran yang sebagai sumber utama agama bukan hanya didominasi oleh kaum elit Islam saja. Pada saat yang sama, jalan tengah juga tidak membiarkan setiap orang bisa begitu saja mengutak-atik kitab suci dan menafsirkan sesuka hati. Karena, kalau ini terjadi maka, jika ada sepuluh orang dalam satu perkara bisa jadi ada sepuluh penafsiran yang kemungkinannya saling kontradiksi.
Islam menyatakan bahwa meski kemampuan memahami tafsir al-Quran secara mendalam ada pada ulama, tetapi hal itu tidak berarti kaum awam dilarang memahami maksud dari sekian ayat muhkam “yang sudah jelas maknanya!” ingat! yang muhkam!, walaupun ayat mutasyabih “yang tidak jelas maknanya” hanya dapat dipahami oleh manusia-manusia khusus dan otoritas penjelasanya hanya mereka ini. Maka pada bagian ayat-ayat seperti itu (ayat mutasyabih ) muslimin harus merujuk kepada mereka, dan ini sangat wajar dan manusiawi. Bukankah orang yang sakit, namun awam tentang kesehatan harus merujuk kepada dokter? Dan dalam penyakit biasa saja, apakah ada larangan bagi pasien yang mengobati diri sendiri dengan membeli obat bebas tanpa resep dokter? Kecuali dalam penyakit-penyakit kronis, ia harus merujuk dan harus merujuk dokter spesialis, karena kalau tidak, bisa berakibat fatal.
Allah berfirman, “ ... di antara isinya (al-Quran) ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya terdapat kecondongan kepada kesesatan, mereka akan mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menciptakan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang kokoh ilmunya” (QS.3:7).
Anggapan bahwa hanya ulama saja yang punya otoritas memahami al-Quran—termasuk ayat-ayat muhkam-nya- jelas bertentangan dengan al-Quran sendiri. Bukankah Kitab Ilahi ini telah menegaskan, ia sebagai petunjuk bagi manusia? Dan bukankah manusia (kebanyakan) adalah awam dan (sedikit) alim? Apakah benar kita tidak dapat memahami shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya diwajibkan oleh al-Quran? Jawabannya sudah cukup jelas. Orang awam mampu memahami dengan bekal terjemahan al-Quran sekalipun. Kendati pemahaman ini masih sangat global, namun detail dan pelaksanaanya dapat merujuk ke alim yang kompeten.
Prinsip mudah itu juga berlaku dalam pelaksanaan syariat Islam lain. Kita ketahui, hukum syariat mencakup: mubah-halal (boleh dilakukan ataupun ditinggal), wajib (harus dilakukan dan dosa jika ditinggal), haram (kebalikan wajib), sunah (jika mengerjakannya dapat pahala dan tidak dosa jika ditinggalkan), dan makruh (kebalikan sunah).
Kelima hukum ini merupakan hukum dasar dalam syariat yang subjek-subjeknya sudah ditentukan dalam hukum fiqih. Yang diakui atau tidak dalam setiap aktifitas sehari-hari, apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan tidak akan terlepas dari hukum-hukum tersebut. Akan tetapi, masih dalam Islam, ada suatu kaidah yang disepakati oleh ulama mazhab, bahwa Islam anti kesukaran. Kaidah itu biasa disebut juga dengan nafyu ad-dharar wal haraj “menolak bahaya dan kesukaran”, dimana subjek yang wajib bisa jadi haram, atau sebaliknya, yang haram jadi halal, yang sunnah jadi wajib; yang semuanya itu biasa disebut sebagai hukum kondisional dan bersifat aksidental.  Dalam keadaan ini, orang awam menyebut situasi darurat. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam fleksibel dan tidak kaku sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian pihak.
Kesimpulannya, Islam itu fleksibel, mudah dan menjunjung tinggi kemudahan. Memang dalam beberapa masalah, penentuan mudah tidaknya suatu kasus ada pada otoritas ulama, tetapi dalam banyak hal otoritas pelaksanaannya ada pada diri kita masing-masing (Kaidah Ushul Fiqh: taskhis maudu). Karena dalam hukum kondisional, hanya pemilik kondisi yang tahu keadaan dirinya; bukan para ulama. Oleh karena itu, para ulama sendiri menyatakan bahwa dalam banyak dari hukum kondisional, penentuan akan penerapannya ada pada pelaku. Misalnya kita lebih tahu kondisi masing-masing ihwal kemampuan kita untuk mampu shalat dengan berdiri atau tidak. Termasuk hukum rebonding.
"Jika tujuan dan dampaknya negatif, maka hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan dampaknya positif, maka dibolehkan, bahkan dianjurkan," kata Asrorun Minggu (Kompas: 17/1/2010).
Ulama juga sepakat bahwa hukum dasar akan berubah menjadi hukum aksidental jika berakibat membahayakan jiwa kita, jiwa keluarga dan sesama muslim, bahkan jika membahayakan harta benda kita.
"Dalam perspektif hukum Islam, menjaga kebersihan dan merawat tubuh, apalagi jika mempermudah dalam pemakaian jilbab, justru dianjurkan," ucap Ni'am Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nah, rebonding rambut akan menjadi haram, jika digunakan sebagai sarana terjadinya kemaksiatan. "Keharamannya terkait dengan unsur luar, misalnya karena menyebabkan kemaksiatan atau prosesnya menggunakan obat yang haram," kata dia sebagaimana dalam Kompas.
Rebonding rambut mempunyai dua peluang, harapan sekaligus bumerang, semuanya tergantung individu dalam memahami kondisi dan keadaan.

Tidak ada komentar: